Rabu, 10 Juni 2015

TRUESTORY NOVEL BY RIMA


Stu
Ketika sesuatu yang tidak bisa dijelaskan datang tiba-tiba, merayapi seluruh aliran darah dan menghentak-hentak bersamaan dengan denyut nadi. Merasa sesuatu yang aneh terjadi walaupun masih saja tidak bisa terjelaskan dengan logika. Seperti yang sering diumbar-umbar, orang-orang pada umumnya berkata bahwa sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dan yang tidak jelas dari mana asalnya itu adalah suatu perasaan yang dinamakan cinta. Hanya lima huruf, C-I-N-T-A. Sudah banyak orang yang aku tanya, tetapi telah banyak pula waktuku yang tersia-siakan. Sampai sekarang, aku pun masih bingung dan terus saja bingung!
****
            “Ara!”
            Seseorang memanggil namaku dari kejauhan, jauh di belakangku. Samar-samar aku mengenali suara itu. Ya, tentu saja suara cempreng sahabat tercintaku yang selalu ada untukku selama hampir setengah semester di sekolahku ini.
            Sudah hampir tiga bulan lamanya aku berada di sini. Di kota hujan dekat Gunung Salak, Kabupaten Bogor. Walaupun masih sangat awal aku berada di sini, tetapi aku sudah cukup kenal baik.
Tempat ini menjadi rumahku yang kedua dan sekaligus menjadi tempatku menuntut ilmu selama tiga tahun kedepan. Tempat ini, aku sangat yakin dan percaya, akan meninggalkan berjuta-juta kenangan yang kelak takkan pernah aku lupakan sampai tua nanti, akan terus ku ingat dan mungkin akan menjadi cerita untuk keturunanku nanti.
            Sekolahku yang selalu menjadi impianku, sekolah internasional di kota hujan ini yang aku raih dengan banyak linangan air mata. Sedari dulu, selagi aku masih memakai seragam biru putih di tahun kedua, betapa aku mendambakan untuk bersekolah di sini. Begitu banyak perjuangan yang telah aku korbankan untuk menjadi siswa pilihan yang terpilih di sekolah ini, sekolah internasional dengan beasiswa yang menakjubkan bagiku sebagai seorang siswa dari kota kecil tempat kelahiran Soekarno, presiden pertama Indonesia.
Totalnya seratus lima puluh juta rupiah yang akan ku dapatkan sebagai biaya sekolah dan kehidupanku menjadi siswa di sekolah ini. Betapa tidak aku tertarik untuk menempuh ilmu di sini. Luar biasa skali.
            Masih saja terus ku ingat sampai detik ini ketika aku dan kawan-kawanku menjadi seseorang yang mendadak sibuk kesana-kemari mengurus surat-surat aplikasi untuk tes tahap satu di sekolahku ini. Berkas-berkas yang setumpuk aku kirimkan melalui pos cepat kilat di kota kecilku ini, Kota Blitar. Bayangkan saja, siang-siang sekitar jam duabelas aku dan kawan-kawanku berjalan di bawah terik matahari untuk mengirimkan berkas-berkas ini.
Masih jelas terbayang ketika aku gemetaran menuliskan alamat sekolah impianku ini di amplop coklat besar. Keringatku tanpa sadar membasahi tanganku, gara-gara saking khawatir salah menulis alamat. Menyerahkan amplop coklat kepada pegawai pos dengan mulut yang disumpali penuh doa-doa.
            Semua orang pasti akan melakukan hal yang sama denganku. Setiap hari sepanjang hari-hari penantian pengumuman akan terus berdoa kepada Tuhan, berharap akan diterima berkas-berkas itu dan Ibuku, ya Ibuku selalu menertawakanku karena aku hanya ingat kepada Tuhanku ketika aku sedang mengharapkan sesuatu saja. Sebegitu parah kah aku melupakan Tuhanku sendiri? Ah, aku bukan tipe yang religius dan aku tidak suka memberatkan masalah keyakinan. Tetapi aku adalah muslim berlatar belakang keluarga yang religius.
            Tentu saja, sejak kecil Ayahku telah mengajariku tentang agama, yakni bagaimana cara sholat, membaca Al-Quran, dan bagaimana meneladani akhlak terpuji Nabi di agama yang aku yakini. Begitu pula dengan Ibuku yang telah menjadikanku gadis kecil yang sudah pandai membaca sejak sebelum masuk taman kanak-kanak.
Sungguh, betapa bangganya aku menjadi salah satu anggota dari keluargaku yang luar biasa. Ibuku yang cerdas, lembut, cantik denga postur tubuh tinggi dan ramping. Begitu pula dengan Ayahku yang hitam tapi manis sepertiku. Secara fisik, aku berkulit sawo matang seperti Ayahku tetapi raut muka dan postur tubuh yang lebih mirip Ibuku.
“Iya, ada apa kamu memanggilku sambil berlari mengerjarku seperti itu?”
“Ara tunggu, please!”
Aku pun berhenti melangkah dan menunggui teman baikku ini hingga ia tepat berhenti satu meter di hadapanku. Kemudian, aku ulangi lagi pertanyaanku sebelumnya. “Ada apa Ima?”
Ima adalah sahabatku sejak dari awal kami satu kelas. Ia adalah gadis Sunda yang cerewet, ceria, dan menyenangkan berteman dengannya. Ia selalu berusaha untuk mengerti apa yang sedang aku rasakan, tentu saja, ia selalu memberikan wejangan-wejangan ampuhnya ketika aku sedang gundah gulana.
Terkadang aku berkata-kata yang tidak enak didengar. “Alah, kamu itu sok bijak!” Bagaimana pun juga, Ima pandai sekali berkilah dan pada akhirnya aku hanya bisa diam, mengangguk, meng-iya-kan kilahnya. Lalu, ia akan tertawa melihatku yang terdiam karenanya. Tentu saja aku tak tahan, aku pun selalu ikut tertawa dan rasa galau ku pun sirna sudah.
Masih dengan nafas tersengal-sengal, Ima mencoba mengatur nafasnya kemudian menjawab, “Tunggu aku Ra, kamu mau kemana? Langsung pulang ke dorm kah atau mau ke perpus dulu?”
Aku menggeleng, “Tidak tahu, umm... mungkin aku akan jalan-jalan dahulu. Penat sekali hari ini Im, aku ingin sedikit relaksasi saja.“
“Baiklah, Aku ikut denganmu kalau begitu. Benar sekali, hari ini begitu penat. Mungkin karena ulangan biologi tadi yang begitu memusingkanku.“
“Aku sepaham denganmu. We are in the same boat then.”
Yeah, I am sure. I don’t know why, I always feel comfortable when I am with you. Maybe, it is because you’re my best friend…
Can I trust you?” Kataku sambil mengerlingkan mata.
Of course yes. You can prove my words on my eyes.
Bullshit. Okay then you should treat me some snacks in D’Javu later on or tonight.”
What the hell are you saying? No, no, no, it can be mentioned as exploitation!
You lie then if you say that I am your best friend. Oh, for Heaven’s Sake! I can’t trust you any longer. You have to sacrifice all things for only your beloved best friend.
What so ever! I’ll go first. Bye!
“Diih… ngambek. Aduh duh duh, jangan begitu lah. Dasar gadis Sunda. Ahhh… aku hanya bercanda. Ayolah, sahabatku, kita berjalan bersama-sama.”
Aku merangkul punggung sahabatku itu dan bersama-sama kami berjalan sambil tertawa riang. Sesekali kami melirik cowok-cowok yang sedang bermain basket di lapangan, mengincar senior-senior kami yang ganteng dan membayangkan ketika salah satu di antara mereka menjadi pacar kami. Ya, begitulah kelakuan seorang jomblo akut untuk menghibur diri. Sungguh konyol!
****
            TO BE CONTINUED à
           



           
           
           
           
           

1 komentar: