S∞tu
Ketika
sesuatu yang tidak bisa dijelaskan datang tiba-tiba, merayapi seluruh aliran
darah dan menghentak-hentak bersamaan dengan denyut nadi. Merasa sesuatu yang
aneh terjadi walaupun masih saja tidak bisa terjelaskan dengan logika. Seperti
yang sering diumbar-umbar, orang-orang pada umumnya berkata bahwa sesuatu yang
tidak bisa dijelaskan dan yang tidak jelas dari mana asalnya itu adalah suatu
perasaan yang dinamakan cinta. Hanya lima huruf, C-I-N-T-A. Sudah banyak orang
yang aku tanya, tetapi telah banyak pula waktuku yang tersia-siakan. Sampai
sekarang, aku pun masih bingung dan terus saja bingung!
****
“Ara!”
Seseorang memanggil namaku dari
kejauhan, jauh di belakangku. Samar-samar aku mengenali suara itu. Ya,
tentu saja suara cempreng sahabat tercintaku yang selalu ada untukku selama
hampir setengah semester di sekolahku ini.
Sudah hampir tiga bulan lamanya aku
berada di sini. Di kota hujan dekat Gunung Salak, Kabupaten Bogor. Walaupun
masih sangat awal aku berada di sini, tetapi aku sudah cukup kenal baik.
Tempat
ini menjadi rumahku yang kedua dan sekaligus menjadi tempatku menuntut ilmu
selama tiga tahun kedepan. Tempat ini, aku sangat yakin dan percaya, akan
meninggalkan berjuta-juta kenangan yang kelak takkan pernah aku lupakan sampai
tua nanti, akan terus ku ingat dan mungkin akan menjadi cerita untuk
keturunanku nanti.
Sekolahku yang selalu menjadi
impianku, sekolah internasional di kota hujan ini yang aku raih dengan banyak
linangan air mata. Sedari dulu, selagi aku masih memakai seragam biru putih di
tahun kedua, betapa aku mendambakan untuk bersekolah di sini. Begitu banyak
perjuangan yang telah aku korbankan untuk menjadi siswa pilihan yang terpilih
di sekolah ini, sekolah internasional dengan beasiswa yang menakjubkan bagiku sebagai
seorang siswa dari kota kecil tempat kelahiran Soekarno, presiden pertama
Indonesia.
Totalnya
seratus lima puluh juta rupiah yang akan ku dapatkan sebagai biaya sekolah dan
kehidupanku menjadi siswa di sekolah ini. Betapa tidak aku tertarik untuk menempuh
ilmu di sini. Luar biasa skali.
Masih saja terus ku ingat sampai
detik ini ketika aku dan kawan-kawanku menjadi seseorang yang mendadak sibuk
kesana-kemari mengurus surat-surat aplikasi untuk tes tahap satu di sekolahku
ini. Berkas-berkas yang setumpuk aku kirimkan melalui pos cepat kilat di kota
kecilku ini, Kota Blitar. Bayangkan saja, siang-siang sekitar jam duabelas aku
dan kawan-kawanku berjalan di bawah terik matahari untuk mengirimkan
berkas-berkas ini.
Masih
jelas terbayang ketika aku gemetaran menuliskan alamat sekolah impianku ini di
amplop coklat besar. Keringatku tanpa sadar membasahi tanganku, gara-gara
saking khawatir salah menulis alamat. Menyerahkan amplop coklat kepada pegawai
pos dengan mulut yang disumpali penuh doa-doa.
Semua orang pasti akan melakukan hal
yang sama denganku. Setiap hari sepanjang hari-hari penantian pengumuman akan
terus berdoa kepada Tuhan, berharap akan diterima berkas-berkas itu dan Ibuku,
ya Ibuku selalu menertawakanku karena aku hanya ingat kepada Tuhanku ketika aku
sedang mengharapkan sesuatu saja. Sebegitu parah kah aku melupakan Tuhanku
sendiri? Ah, aku bukan tipe yang religius dan aku tidak suka memberatkan
masalah keyakinan. Tetapi aku adalah muslim berlatar belakang keluarga yang
religius.
Tentu saja, sejak kecil Ayahku telah
mengajariku tentang agama, yakni bagaimana cara sholat, membaca Al-Quran, dan
bagaimana meneladani akhlak terpuji Nabi di agama yang aku yakini. Begitu pula
dengan Ibuku yang telah menjadikanku gadis kecil yang sudah pandai membaca
sejak sebelum masuk taman kanak-kanak.
Sungguh,
betapa bangganya aku menjadi salah satu anggota dari keluargaku yang luar
biasa. Ibuku yang cerdas, lembut, cantik denga postur tubuh
tinggi dan ramping. Begitu pula dengan Ayahku yang hitam tapi manis sepertiku.
Secara fisik, aku berkulit sawo matang seperti Ayahku tetapi raut muka dan
postur tubuh yang lebih mirip Ibuku.
“Iya,
ada apa kamu memanggilku sambil berlari mengerjarku seperti itu?”
“Ara
tunggu, please!”
Aku
pun berhenti melangkah dan menunggui teman baikku ini hingga ia tepat berhenti
satu meter di hadapanku. Kemudian, aku ulangi lagi pertanyaanku sebelumnya.
“Ada apa Ima?”
Ima
adalah sahabatku sejak dari awal kami satu kelas. Ia adalah gadis Sunda yang
cerewet, ceria, dan menyenangkan berteman dengannya. Ia selalu berusaha untuk
mengerti apa yang sedang aku rasakan, tentu saja, ia selalu memberikan
wejangan-wejangan ampuhnya ketika aku sedang gundah gulana.
Terkadang
aku berkata-kata yang tidak enak didengar. “Alah, kamu itu sok bijak!” Bagaimana pun juga, Ima pandai sekali berkilah dan pada
akhirnya aku hanya bisa diam, mengangguk, meng-iya-kan kilahnya. Lalu, ia akan
tertawa melihatku yang terdiam karenanya. Tentu saja aku tak tahan, aku pun
selalu ikut tertawa dan rasa galau ku pun sirna sudah.
Masih
dengan nafas tersengal-sengal, Ima mencoba mengatur nafasnya kemudian menjawab,
“Tunggu aku Ra, kamu mau kemana? Langsung pulang ke dorm kah atau mau ke perpus dulu?”
Aku
menggeleng, “Tidak tahu, umm... mungkin aku akan jalan-jalan dahulu. Penat
sekali hari ini Im, aku ingin sedikit relaksasi saja.“
“Baiklah,
Aku ikut denganmu kalau begitu. Benar sekali, hari ini begitu penat. Mungkin
karena ulangan biologi tadi yang begitu memusingkanku.“
“Aku
sepaham denganmu. We are in the same boat
then.”
“Yeah, I am sure. I don’t know why, I always
feel comfortable when I am with you. Maybe, it is because you’re my best friend…”
“Can I trust you?” Kataku sambil
mengerlingkan mata.
“Of course yes. You can prove my words on my eyes.”
“Bullshit. Okay then you should treat me some snacks in D’Javu later on or tonight.”
“What the hell are you saying? No, no, no, it
can be mentioned as exploitation!”
“You lie then if you say that I am your best
friend. Oh, for Heaven’s Sake! I can’t trust you any longer. You have to
sacrifice all things for only your beloved best friend. ”
“What so ever! I’ll go first. Bye!”
“Diih…
ngambek. Aduh duh duh, jangan begitu lah. Dasar gadis Sunda. Ahhh… aku hanya
bercanda. Ayolah, sahabatku, kita berjalan bersama-sama.”
Aku
merangkul punggung sahabatku itu dan bersama-sama kami berjalan sambil tertawa
riang. Sesekali kami melirik cowok-cowok
yang sedang bermain basket di lapangan, mengincar senior-senior kami yang ganteng dan membayangkan ketika salah
satu di antara mereka menjadi pacar kami. Ya, begitulah kelakuan seorang jomblo
akut untuk menghibur diri. Sungguh konyol!
****
TO BE CONTINUED
à
lanjutannya mana?
BalasHapus