Rabu, 10 Juni 2015

SKRIP DRAMA "LA GIOCONDA (MONALISA)"



SKRIP DRAMA "LA GIOCONDA (MONALISA)"

Penokohan
·         Bella................................................................................... Siswa SMA
·         Anisa................................................................................... Siswa SMA
·         Erni..................................................................................... Siswa SMA
·         Leonardo Davinci............................................................... Seniman Florence (sabar,
                                                                                            teguh, bijaksana)
·         Lisa Gherardini................................................................... Istri Francesco, mantan
                                                                                            kekasih Leonardo (anggun,
                                                                                            bijaksana)
·         Francesco del Giocondo..................................................... Saudagar Florence (tidak
                                                                                            ramah, sok tahu, sinis)
·         Martha............................................................................... Pembantu Leonardo (patuh)
·         Ralph.................................................................................. Murid Leonardo (setia,
                                                                                            patuh, penyayang)


La Gioconda (Monalisa)

Babak I
            Pentas menggambarkan sebuah teras depan gedung perpustakaan suatu SMA. Ketika itu pulang sekolah sekitar pukul tiga sore. Di pinggir tembok terdapan bangku panjang dari semen. Di dekatnya terdapat rak sepatu dan tas. Latar belakangnya adalah jendela-jendela gedung perpustakaan.
Bella                :(Sedang duduk di bangku semen sambil bersandar di tembok perpustakaan sambil serius membaca buku tentang ilmuwan)
Erni                 :Bella, kamu sedang membaca buku apa, sih? Bell, kamu enggak pulang, nih?
Bella                :Oiiiii... Erni! Ummm.. ini nih buku cerita tentang Monalisa, lagi klimaksnya, nih!
Erni                 :Monalisa? Monalisa, siapa sih?
Bella                :For Godness sake! Kamu nggak tahu? Itu lho, lukisan misterius Leonardo da Vinci! Seniman jenius dari Italia!
Erni                 :Oohh… ya, ya, aku tahu! Bukankah itu masih menjadi misteri ya?
Bella                :Iya, tapi di buku ini cerita Monalisa direkayasa sesuai rekaan dan imajinasi penulisnya.
Erni                 :Idiihhh... kok aku jadi penasaran, ya? Mau baca juga, dong!
Bella                :Oke. Ini nih buku dari perpustakaan. Judulnya adalah Monalisa. Kamu kesini saja, kita membaca bersama-sama, yuk!
Ermi                :Waaah ayo, ayoo!
Bella dan Erni membaca bersama-sama sambil bersandar di tembok gedung perpustakaan.

Babak II
Pentas menggambarkan suasana senja di sebuah balkon terbuka dari batu-batu bergaya Italia pada tahun 1519-an yang menghadap langsung Danau Vinci yang rimbun akan pohon-pohon. Terdengar suara burung-burung, ranting-ranting, dan hembusan angin senja. Di dekat pinggiran Balkon, sebuah kursi goyang kayu berukir dengan warna cokelat tua yang disampingnya terdapat meja kecil serasi dengan kursi. Di atas meja tersebut terdapat secangkir susu panas. Seorang lelaki tua duduk di kursi itu sambil menatap senja.
Narator           :Puluhan tahun silam, yang mana pada masa itu sebuah zaman keemasan pembangunan di Eropa. Zaman Renaissance Italia yang banyak mempengaruhi pemikiran orang-orang semasa itu. Menjadikan kaumnya menjadi pemburu ilmu, penuh pemikiran, dan dibarengi semangat yang membuncah sehingga menghasilkan banyak sekali karya yang mengagumkan.
Perlahan-lahan layar terbuka. Suara burung-burung, ranting-ranting pohon, dan hembusan angin senja.
Narator           :Suatu senja di Florence, Italia tahun 1518. Seorang lelaki berumur 20-an duduk di kursi goyang balkon menghadap sang raja siang yang hendak pergi ke peraduannya.  Balkon kamar tidurnya di lantai empat yang di bawahnya terhampar sawah gandum yang menguning keemasan.
Leonardo         :Matahari itu sepertiku kini… (Tersenyum dan terus memandang langit senja tanpa berkedip) Masa lalu yang membawaku ke sini. Seperti waktu yang mengantar matahari pulang ke peraduannya. Bedanya, matahari akan terbit esok hari. Jika aku telah terbenam, aku tak akan terbit kembali sesudahnya. (memejamkan mata sejenak)
Ralph               :Sir… (Tiba-tiba masuk dan membungkuk ke hadapan Leonardo) Selamat sore! Maafkan saya yang tiba-tiba masuk.
Leonardo         :(Membuka mata perlahan) Sudahlah Ralph, kau sudah aku anggap sebagai anakku sendiri. (Menghela nafas) Ambilah kursi dan duduklah di sampingku, Ralph.
Ralph               :Baik, Sir. (Pergi mengambil kursi, tidak lama kemudian kembali sambil meletakkan kursi kayu berukir warna cokelat di samping kursi goyang)
Leonardo         :Ralph, kau sudah lama sekali menemaniku, kemanapun aku pergi. Kau sudah seperti anakku sendiri, Ralph.
Ralph               :Sir, begitu pula dengan saya. Saya telah menganggap Anda sebagai guru terhebat, lebih dari itu saya akan terus mengabdi, Sir.
Leonardo         :Kemarin aku memintamu untuk datang kemari, bukan? Sebenarnya aku hanya ingin menyampaikan sesuatu kepadamu. Selagi masih bisa.
Ralph               :(Matanya berkaca-kaca) Apapun yang Anda katakana nanti, Sir, saya akan patuhi. Apapun itu! Jangan pernah tinggalkan saya, Sir. Saya tidak tahu lagi harus… harus… harus kemana…
Leonardo         :Asalkan kau tahu, Ralph. Di Italia, seorang seniman hebat tak hanya satu. Bukan hanya aku, Nak.
Ralph               :Tidak, Sir, tidak! (Air matanya semakin deras) Di dunia ini, hanya Anda yang saya banggakan. Tidak ada yang lain!
Leonardo         :Ralph, aku tahu, aku tahu. Kau sudah berpuluh tahun bersamaku. Tidak mudah untuk berpisah. Seperti halnya amplop surat dan perangko. (Menepuk pundak Ralph)
Ralph               :Sir, saya tidak punya siapa-siapa lagi. Maka saya mohon dengan sangat, sangat, dan sangat. Saya mohon jangan tinggalkan saya… (Menatap Leonardo sambil terisak)
Leonardo         :Saya sudah tua, Nak. Saatnya Leonardo da Vinci sang seniman tua ini pensiun. Saatnya pulang, sudah lelah bermain-main dengan kehidupan ini, Nak. (Menggoncangkan bahu Ralph) Dengarkan aku, Ralph. Dengarkan baik-baik, ingat-ingat, jangan sampai kau mengingkarinya, sekarang dan nanti…
Ralph               :Sir… sir… akan saya laksanakan apapun permintaan Anda… (Terisak-isak)
Leonardo         :Ralph, kau yang telah aku anggap sebagai anakku sendiri, dan sebagai seorang laki-laki, janganlah kau meniru kesalahanku yang lalu. Jangan menjadi laki-laki pengecut sepertiku. Apapun yang kau mau, harus kau dapatkan. Apapun yang terjadi, jangan samai putus asa. (Menghela nafas) Kau sebagai pemuda, Ralph, masih sangat kuat dan semangat. Kejarlah cita-citamu walaupun tanpa aku. Kejarlah cintamu, jangan kau biarkan ia pergi begitu saja dan kau pura-pura kuat dan rela padahal yang sebenarnya kau ini lemah…
Ralph               :(Terdiam dan memandang Leonardo penuh tand tanya)
Leonardo         :Cernalah apa yang aku katakan, Ralph. Jangan mengulangi kesalahan sepertiku jika kau tak ingin menjadi orang tua bodoh yang merindukan masa lalunya. Orang tua yang menjalani masa senjanya dengan penuh penyesalan karena baying-bayang masa lalu.
Ralph               :(mengangguk dan masih terdiam, terpaku)
Leonardo         :Ingat, Ralph, ingat! Penyesalan selalu datang di akhir dan penyesalan itu tiada gunanya! (Menitikkan air mata)
Ralph               :(Memegang erat tangan Leonardo, turun dari kursi dan bersimpuh di hadapannya) Sir, seorang Leonardo da Vinci akan terus bersinar. Namanya akan terus berkibar sebagai seniman hebat. Tiada kesalahan yang berarti bagimu, yang harus disesali di usia senjamu, Sir. Betapa indahnya senja ini dengan prestasi-prestasi yang telah membanggakan dunia seni yang telah kau torehkan sepanjang sejarah.
Leonardo         :Seorang seniman bukanlah matahari, ia akan kehilangan cahayanya. (Menatap langit yang menghitam) Ralph, lihatlah langit itu. (Menunjuk langit) Apa warnanya?
Ralph               :Ya, Sir. Umm… hitam, gelap…
Leonardo         :Ya! Seperti itulah cinta. Ketika matahari pergi, langit pun menjadi gelap. Tapi tidak semuanya hitam, Ralph. Lihat yang disana! (Tangannya menunjuk ke langit)
Ralph               :Tetap saja gelap, Sir.
Leonardo         :Lihatlah baik-baik, Nak! Disana ada semburat jingga kemerah-merahan. (Tersenyum) Itulah cinta. Ketika cinta itu pergi, tidak seluruhnya hilang begitu saja. Tentu saja, tantu! Masih ada bekas yang tertingal disini. (Meletakkan kedua tangan di dada) Semua masih tersimpan rapi di memori otak ini.
Ralph               :Sir, Sir… bisakah Anda kisahkan kepada saya sehingga nantinya saya bisa mengambil pelajaran dari kisah itu?
Leonardo         :(Mengangguk) Tentu, tentu saja! (Tersenyum)
Perlahan-lahan lampu meredup dan gorden panggung tertutup.

Babak III
Pentas menggambarkan sebuah ruang tamuklasik bergaya Italia tahun 1503. Di langit-langit tergantung lampu dari Kristal-kristal klasik yang besar. Di tengahnya terdapat meja dan kursi eropa klasik.di dekatnya terdapat perapian dari keramik yang berukir.  Sepanjang dindingnya terdapat lukisan-lukisan aliran High Renaissance yang dibuat Leonardo da Vinci.
Francesco        :Oooh… ohh… inilah sarang seniman hebat kita! Dari dulu sekali, aku tak ragu kalau bakatmu benar-benar mengagumkan. Baik sekali Jesus memberkati bakat luar biasa ini kepada salah seorang anggota dari Priory of Sion. Betapa Maha Baiknya Jesus. (Tersnyum sinis dengan maksud menyindir, tangan kanannya membawa cerutu besar sedangkan tangan kiri membawa tongkat kayu hitam mengkilap)
Leonardo         :Selamat datang dan selamat pagi, Mister Francesco. Terimakasih atas pujiannya. Bagaimana kabar bisnismu, Sir? Ku dengar, kau mulai menempati posisi atas sebagai saudagar terkaya di Florence. (Menyilakan duduk sambil tersenyum tulus) Silakan duduk, Sir. Wine, susu, atau cokelat hangat?
Francesco        :Tidak perlu repot-repot, Seniman! Aku tahu kata-kataku tadi membuatmu tak enak hati.
Leonardo         :Sudahlah, katakana saja. Pilih yang mana, Sir?
Francesco        :Cokelat hangat. Sebenarnya wine mantap sekali rasanya, tapi aku tak  ingin mabuk di tempat ini, bisa-bisa aku merusak semua karya maha agungmu. Hahahah… (Tertawa keras)
Leonardo         :Baiklah. (Memanggil Martha) Martha! Martha!
Martha            :(Datang tergopoh-gopoh) Maaf, Sir. Saya sedang memasak di dapur. Ada apa memanggil saya, Sir?
Leonardo         :Saya kedatangan tamu terhormat. Tolong buatkan dua cangkir cokelat hangat, jangan lama.
Martha            :Baik, Sir. Baik! Permisi. (Pergi ke dapur)
Francesco        :(Melihat-lihat lukisan di dinding ruang tamu) Wah, wah, wah, ternyata kau mengidolakan Santo Yohanes Pembaptis ya! Apa kau begitu mengidolakan posenya dengan tangan yang sedang menunjuk ke langit? Hmmm...
Leonardo         :Hahaha... itu hanya untuk menunjukkan kegagahannya. (Tersenyum lebar)
Francesco        :Ah ya! Bahkan Santo itu mengalahkan kecintaanmu kepada Jesus dan Bunda Maria yang mungkin lupa untuk kau lukis, Sir?
Leonardo         :Sir, jangan salah paham. Saya melukis Jamuan Terakhir di gereja Santa Maria di Milan, dimana saya bangga melukiskan Jesus sebagai Putra Allah.
Francesco        :Kau tidak akan mengelak lagi, Mister Leonardo di Ser Piero! Akui sajalah! Siapa kau ini kalau kau memang bukan pengecut, Sir! Aku tahu kau memang seorang jenius, tapi jangan sampai kau gunakan kejeniusanmu itu untuk durhaka kepada Tuhan! (Menghardik)
Lisa                  :(Masuk dan melerai) Suamiku, sudahlah. Tidak baik membuat keributan di rumah orang.
Francesco        :Maafkan aku, Sayangku. Aku terbawa emosi. (Duduk) Mister Leonardo, kenalkan dia isteriku, Lisa Gherardini. Dialah alasanku untuk datang kemari, aku ingin menghadiahkan poteret dirinya sebagai hadiah ulang tahunnya yang keduapuluhsatu. Aku dengar, Leonardo da Vinci adalah seniman agung di Florence, makadari itu aku memilihmu untuk melukis isteriku. Aku tahu kejeniusan bakatmu, makanya aku tak mau kecewa.
Lisa                  :Selamat pagi, Mister Leonardo. Senang bertemu dengan Anda.
Francesco        :Baiklah, baiklah. Kedatanganku bersama isteriku hari ini hanyalah untuk membuat janji denganmu kapan kau akan mulai melukis isteriku. Bagaimana kalau mulai besok, Mister? Apakah Anda bersedia?
Leonardo         :Mendadak sekali. Tapi, baiklah. Ya, ya mulai besok datanglah kemari.
Francesco        :Sebenarnya besok aku harus pergi ke luar kota. Tapi baiklah, aku percayakan semuanya kepadamu. Besok akan ada kusirku yang akan mengantar istriku kesini.
Perlahan-lahan lampu meredup dan gorden panggung tertutup.

Babak IV
Pentas menggambarkan sebuah Balkon yang cukup luas. Terdapat peralatan melukis yang berjejer di lantai. Kanvas berukuran sekitar satu meter terpasang pada penyangganya. Di dekatnya terdapat kursi makan kayu sederhana. Latar belakangnya aalah balkon yang menghdap sebuah danau dengan pohon-pohon.
Terdengar Suara burung-burung pipit dan alunan musik klasik tahun 1503-an.
Lisa                  :Selamat pagi, Mister Leonardo (Membungkukkan badannya, memberi hormat)
Leonardo         :(Duduk menghadap kanvas) Oh, oh, apakah Anda datang tanpa kusir, Madam? (Tersentek kaget)
Lisa                  :Maaf, mengagetkanmu, Leonard. (Tersenyum)
Leonardo         :Tidak apa-apa Madam Lisa del Giocondo. Saya sedang memikirkan konsep melukis. Saya rasa di sini tempat yang cocok sebagai latar belakang lukisan. Danau Vinci terlihat sangat biru di pagi hari. Silakan duduk dulu. Mau minum apa, cokelat hangat, susu, atau wine?
Lisa                  :Hihihi… kau ini seniman atau seorang bartender, Sir? (Tertawa kecil) Sudahlah Leonard, kau jangan kaku seperti itu kepadaku. Panggil saja Lisa Gherardini saja. Hmmm… ternyata, sampai sekarang pun kau masih sama. Sama seperti dulu. Bedanya, aku seperti orang asing di matamu, Leonard.
Leonardo         :Maaf, aku tidak bermaksud kaku kepadamu, Madam. Tapi saya ingin menghormati suami Anda.
Lisa                  :Mister Francesco del Giocondo tak di sini, tak perlu kau hormat kepadanya. (Berjalan menyusuri balkon, tangannya meraba sepanjang tembok balkon) Apa kau tahu? Aku masih sangat hafal lekukan tiap sudut rumah ini. Termasuk balkon yang satu ini, menghadap danau Vinci. Akan indah sekali jika hari sudah senja. (Tersenyum sambil menatap langit, kepalanya sedikit mendongak ke atas) Baiklah, segeralah kau membuat gambar diriku di kanvasmu dengan goresan kuas dan catmu itu, Tuan Seniman. (Duduk berhadapan dengan Leonardo, membelakangi pemandangan Danau) Beginikah pose yang bagus? (Melipat kedua tangannya di pangkuan)
Leonardo         :Umm… ya, ya Anda terlihat begitu anggun, Madam. Tersenyumlah sedikit, tapi jangan dipaksa. (Mengangguk) Nah, begitu. Tetap diam pada posisi itu dan jangan bergerak. (Tersenyum, kemudian mulai melukis dengan serius)
Pentas menggambarkan suasana ketika langit telah berubah menjadi jingga, matahari telah separuh terbenam. Suara-suara serangga mulai berbunyi. Terdengar suara hembusan angin sore yang meniup pohon-pohon dan menimbulkan bunyi gesekan ranting dan dedaunan.
Lisa                  :(Mendekap tubuhnya sendiri) Uhhh... dingin sekali angin disini, begitu kencang menerpa. (Rambutnya berkibar-kibar diterpa angin, sedikit menggigil) Bisakah kita lanjutkan dilain hari, hai tukang lukis?
Leonard           :Ya, senja disini begitu dingin. Apa perlu aku ambilkan mantel untukmu atau selimut dan semacamnya? (Beranjak dari kursi dan mendekati Lisa)
Lisa                  :Tidak perlu, kita lanjutkan saja dilain hari. Hari sudah sore, aku harus segera pulang.
Leonard           :Tentu, tentu, tentu. Mister Francesco pasti telah lama menunggumu. Jangan pernah membuat suamimu khawatir. Mari saya antar ke kusirmu.
Lisa                  :Tidak perlu. Kebiasaan burukmu adalah membiarkan peralatan lukismu berantakan dan meninggalkannya begitu saja. Rapikan segera, jangan biarkan angin merusak kpotretku di kanvasmu, Leonard. Sampai jumpa esok. Selamat petang!
Leonard           :Lisa....
Lisa                  :Ah ya, Leonard, jangan pernah membohongi diri sendiri jika kau tak ingin menyakiti hatimu sendiri. Aku tahu, aku tahu itu. Ahh... kenapa aku memikirkan masa lalu itu lagi. Tidak, tidak! Leonard, kau harus bahagia dengan apa yang telah kau punya. Hidupmu itu pilihanmu. God Blesses you!
Leonard           :Oh, tentu, tentu. Tentu saja. Pasti!
Leonardo Berbicara berdiri di pinggir balkon sambil menatap jauh ke langit jingga, merasakan hembusan angin sore. Rambutnya diterpa angin, berantakan.
Leonardo         :(Berbicara pada dirinya sendiri) Masa lalu hanyalah menjadi bayang-bayang yang semakin kabur. Biarlah aku menipu diriku sendiri, lagipula kau takkan pernah tau. Takkan pernah kau rasakan betapa ngilunya hati ini melihatmu bersama yang lain, sedangkan aku tak bisa bersama siapa pun. (Menundukkan wajahnya, sambil terisak)
Mengalun suara instrumen lagu sendu.
Leonardo         :(Berbicara pada dirinya sendiri) Walaupun aku tahu itu bukan inginmu. (Mendongak ke langit dengan wajah sendu yang berlumuran air mata) Lisa Gherardini nama yang tak asing di telingaku. Bukan itu, bukan itu! Dia adalah Lisa del Giocondo. Ya, ya! Tanpa kau minta pun, akan ku selesaikan sepenuh hati lukisan potret dirimu. Kujadikan refleksi hatiku, sepenuhnya. Akan ku goreskan kuas-kuasku penuh emosi hatiku yang sendu. Lisaa.... Monna* Lisa, pergilah. Pergilah dari hidupku. (Menangis tersedu-sedu)
Lampu pentas meredup perlahan-lahan lalu gelap. Layar pun perlahan-lahan menutup.

Babak V
Pentas menggambarkan sebuah teras depan gedung perpustakaan suatu SMA. Di pinggir tembok terdapan bangku panjang dari semen. Di dekatnya terdapat rak sepatu dan tas. Latar belakangnya adalah jendela-jendela gedung perpustakaan.
Bella dan Erni tengah duduk bersama di bangkupanjang dari semen, menutup buku yang telah selesai dibaca.
Bella                :Waaaaw... It’s so awesom story! (Menghela nafas puas)
Erni                  :Hmm... aku tidak menyangka jika seorang seniman yang jenius seperti Leonardo da Vinci pun pernah merasakan  kegalauan dan patah hati.
Bella                :Benar! Itu artinya, wajar kalau kita anak SMA yang sering gelisah dan gundah gulana gara-gara pacar. Hahaha… (Tertawa keras)
Erni                  :Ssssstttt! Jangan tertawa terlalu keras! Kau ini mengganggu teman-teman di perpus yang sedang membaca tau!
Anisa datang sambil bersenandung kecil. Tangan kirinya membawa tas, sedangkan tangan kanannya membawa kunci motor.
Anisa               :Eh, ada Bella dan Erni. Kalian lagi ngapain? Kok, enggak pada balik, sih? Pulang bareng, yuk sudah sore lho!
Bella & Erni     :(Saling berpandangan) Oke, ayo pulang! (Berdiri dan mengambil tas masing-masing di rak tas samping mereka)
Erni                  :Kamu naik motor, kan?
Anisa               :Iya, kok. Ayoo!
Bella, Erni, dan Anisa berjalan bersama sambil bernyanyi-nyanyi kecil melewati ruang perpustakaan menuju ke tempat parkir motor.
Perlahan-lahan lampu pentas meredup, dan layar perlahan menutup.
*Monna : Nyonyaku (Italia)

Selesai













Tidak ada komentar:

Posting Komentar